Soekarno: Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)
Saya dapat email seperti terkutip di bawah ini, kurang tahu sumber aslinya jadi tidak bisa saya referensikan. Yang jelas disitu penulisnya adalah: Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto.
Saya jadi bingung atas kebenaran sejarah kita, apakah benar seperti tertulis di bawah. (pada jaman modern sekarang ini dimana orang dengan mudah menyebarkan berita palsu/hoax, saya selalu mencoba mengingatkan diri saya selalu agar tidak terlalu mudah percaya pada suatu berita). Anyway, kalau benar artikel di bawah......wah ngeri kalee.....
Pelajaran yang bisa kita a.l.: satu jiwa besar mantan Presiden Soekarno, yang saya pikir jarang dimiliki negarawan saat ini, ketika beliau dengan sadar tidak mau membela dirinya (sehingga mengorbankan dirinya) untuk kepentingan agar tidak terjadi perang saudara. Kalau jaman sekarang, boro-boro mengorbankan dirinya, kalau bisa semua situasi harus menguntungkan dirinya gak peduli mengorbankan siapa atau apapun.
=============
Sukarno, Bendera
Pusaka, dan Kematiannya
13 Mar 2013
19:20:28
Oleh: Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto
Monday, June 21,
2010 at 12:41pm
Tak lama setelah mosi tidak percaya
Parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai
Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam
waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno dengan wajah sedih membaca
surat pengusiran itu. Ia sama sekali tidak diberi waktu untuk menginventarisir
barang-barang pribadinya.
Wajah-wajah tentara yang diperintahkan
Suharto untuk mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus
cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang".
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di
ruang itu. "Mana kakak-kakakmu?" kata Bung Karno.
Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata
, "Mereka pergi ke rumah Ibu" rumah Ibu yang dimaksud adalah
rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.
Bung Karno berkata lagi "Mas
Guruh, Bapak sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan
barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya
negara,".
Kata Bung Karno lalu ia pergi ke ruang
depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya
sudah tidak kelihatan, ia maklum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga
terlibat Gestapu.
"Aku sudah tidak boleh tinggal
di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu,
souvenir, dan macam-macam barang itu milik negara".
Semua ajudan menangis Bung Karno mau
pergi, "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak
melawan" salah satu ajudan hampir berteriak memprotes tindakan diam
Bung Karno.
"Kalian tau apa, kalau saya melawan
nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda
kita jelas hidungnya beda dengan hidung kita, perang dengan bangsa sendiri
tidak..lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang
saudara".
Beberapa orang dari dapur berlarian saat
tahu Bung Karno mau pergi, mereka bilang "Pak kami tidak ada
anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi belum makan.
Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya"
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah
sayur lodeh basi tiga hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku
ini perlunya apa...."
* * *
Di hari kedua saat Bung Karno sedang
membenahi baju-bajunya datang seorang perwira suruhan Orde Baru. "Pak,
bapak segera meninggalkan tempat ini"
Beberapa tentara sudah memasuki beberapa
ruangan. Dalam pikiran Bung Karno yang ia takuti adalah bendera pusaka. Ia ke
dalam ruang membungkus bendera pusaka dengan kertas koran lalu ia masukkan
bendera itu ke dalam baju yang dikenakannya di dalam kaos oblong, Bung Karno
tahu bendera pusaka tidak akan dirawat oleh rezim ini dengan benar.
Bung Karno lalu menoleh pada ajudannya
Saelan. "Aku pergi dulu" kata Bung Karno hanya dengan
mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam.
"Bapak tidak berpakaian dulu" Bung Karno mengibaskan tangannya, ia
terburu buru. Dan ke luar dari Istana dengan naik mobil VW kodok, ia minta
diantarkan ke rumah Ibu Fatmawati di Sriwijaya, Kebayoran.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman,
matanya kosong. Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu dirawat hati-hati.
Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang tumbuh di halaman.
Kadang-kadang ia memegang dadanya, Ia
sakit ginjal para,h namun obat-obatan yang biasanya diberikan tidak kunjung
diberikan. Hanya beberapa minggu Bung Karno di Sriwijaya, tiba-tiba datang satu
truk tentara ke rumah Sriwijaya.
* * *
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya
yang bernama Nitri yang orang Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku Bung
Karno bilang "Aku pengen duku.. Tri, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya
uang"
Nitri yang uangnya juga sedikit ngelihat
dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan
berkata "Pak bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil"
Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke
Bung Karno "Mau pilih mana Pak, manis-manis nih" kata Tukang
Duku dengan logat betawi.
Bung Karno berkata "Coba kamu cari
yang enak"
Tukang Duku-nya merasa sangat akrab dengan
suara itu dan dia berteriak "Lha itu kan suara
Bapak...Bapak...Bapak"
Tukang Duku berlari ke teman-temannya
pedagang "Ada Pak Karno...ada Pak Karno" serentak banyak
orang di pasar mengelilingi Bung Karno. Bung Karno tertawa, tapi dalam hati ia
takut orang ini akan jadi sasaran tentara, karena disangka mereka akan
mendukung Bung Karno. "Tri cepat jalan".....
* * *
Mendengar Bung Karno sering ke luar rumah,
maka tentara dengan cepat memerintahkan Bung Karno diasingkan.
Di Bogor, dia diasingkan ke Istana Batu
Tulis dan dirawat oleh: Dokter Hewan .....
Lalu Rachmawati datang dan melihat ayahnya, ia menangis keras-keras saat tahu
wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit jalan, Rachmawati adalah puteri Bung
Karno yang paling nekat. Malamnya ia memohon pada bapaknya agar pergi ke
Jakarta saja dan dirawat keluarga.
"Coba aku tulis surat permohonan pada
Presiden" kata Bung
Karno dengan mengucurkan air mata. Dia menulis surat dengan tangan bergetar,
dan pagi-pagi sekali Rachma ke Cendana, rumah Suharto.
Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget
karena ada Rachma di sana. Bu Tien memeluk Rachma dan di saat itu Rachma
bercerita tentang nasib bapaknya, hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam
tangan Rachma lalu membawanya ke atas, ke ruang kerja Pak Harto.
"Lho Mbak Rachma ada apa?" Kata Pak Harto dengan nada santun,
Rachma-pun menceritakan kondisi ayahnya.
Pak Harto berpikir sejenak dan dia
menuliskan memo untuk diperintahkan kepada anak buahnya, agar lalu dia
dipindahkan ke Wisma Yaso, yang sama sekali tidak terawat. Kamar Bung Karno
sudah berantakan sekali, bau dan tidak diurus. Bung Karno tidak boleh ke luar
kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu.
Dokter yang diperintahkan untuk merawat,
Profesor Mahar Mardjono sampai mau menangis, saat tahu bahwa semua obat-obatan
yang biasa digunakan oleh Bung Karno, dibersihkan dari laci obat atas dasar
perintah Perwira Tinggi.
Mahar hanya bisa memberikan vitamin dan
Royal Jelly, yang sesungguhnya adalah madu. Jika sulit tidur, dia diberi
valium, Sukarno tidak diberikan obat, bila terjadi pembengkakan ginjal.
Rumor yang mengatakan Bung Karno hidup sengsara, banyak beredar di masyarakat,
Beberapa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno, tapi penjagaan
sangat ketat.
* * *
Pada awal tahun 1970, Bung Karno datang ke
rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Muka Bung Karno
sudah bengkak. Ketika banyak orang tahu Bung Karno datang ke rumah itu,
orang banyak berteriak "Hidup Bung Karno ... Hidup Bung Karno ... Hidup
Bung Karno !!!"
Sukarno yang reflek, karena ia tahu benar
dengan suasana gegap gempita, tertawa dan melambaikan tangan, Tapi, dengan
kasar tentara menurunkan tangan Sukarno, dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno
paham, dia adalah tahanan politik.
* * *
Masuk ke bulan Februari, penyakit Bung
Karno parah sekali, Ia tidak kuat berdiri, Tidur saja, Tidak boleh ada orang
yang bisa masuk.
Ia sering berteriak kesakitan, biasanya
penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau. Ia
berteriak "sakit ... sakit ya Allah .."
Tapi tentara terpaksa diam saja, karena
disuruh komandan, Sampai ada salah satu tentara yang sampai menangis, mendengar
teriakan Bung Karno di dalam kamar, sambil tangannya memegang senjata.
Kepentingan politik tak mungkin bisa
membendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari
rasa kemanusiaan itu. Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada
Suharto, dan mengecam cara merawat Sukarno.
Di rumah Hatta duduk di beranda, ia
menangis diam-diam mengenang sahabatnya itu.
Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi,
untuk bertemu dengan Bung Karno. "Kakak tidak mungkin bisa ke sana,
Bung Karno sudah jadi tahanan politik"
Hatta menoleh pada isterinya "Sukarno
adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, Kami pernah
dibesarkan dalam suasana yang sama, agar negeri ini merdeka. Bila memang ada
perbedaan di antara kita, itu lumrah, tapi aku tak tahan mendengar berita
Sukarno terlalu sakit seperti ini".
Hatta menulis surat dengan nada tegas
kepada Suharto, untuk bertemu Sukarno, Ajaibnya surat Hatta langsung
disetujui, ia boleh menjenguk Sukarno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar,
Tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta
terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata
Hatta, Ia tercekat, mata Hatta sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya
berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou" kata
Bung Karno dalam bahasa Belanda -Bagaimana pula kabarmu, Hatta- .
Hatta memegang lembut tangan Bung Karno
dan mendekatkan wajahnya, Air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno,
dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini menangis, di
sebuah kamar yang bau dan rusak, Kamar yang menjadi saksi ada dua orang
yang memerdekakan bangsa ini, di akhir hidupnya merasa tidak bahagia,
Suatu hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi
1945, Bung Karno menunggui Hatta di kamar, untuk segera membacai Proklamasi,
Saat kematiannya, Bung Karno juga menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat
menemui Tuhan.
* * *
Mendengar kematian Bung Karno rakyat
berjejer-jejer di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak
rumah yang orang-orangnya menangis karena Bung Karno meninggal.
Tapi tentara memerintahkan agar
jangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin
dikesankan sebagai pribadi yang senyap. Tapi, sejarah akan kenangan tidak
bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir.
Hampir 5 kilometer orang antre untuk
melihat wajah Bung Karno, Di pinggir jalan Gatot Subroto, banyak orang
berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah
Bung Karno, menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan, Mereka diusiri,
tapi datang lagi. Begitu cintanya rakyat Indonesia pada Bapaknya. Tahu sikap
rakyat seperti itu, akhirnya tentara menyerah.
Jutaan orang Indonesia berhamburan di
jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang Indonesia yang rajin menulis
catatan hariannya, pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung
Karno dengan rasa sedih,
Koran-koran yang isinya hanya
menjelek-jelekkan Bung Karno, sontak tulisannya memuja Bung Karno.
Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan
secara manusiawi, Meninggalnya, dengan cara yang agung. Jutaan
rakyat berjejer di pinggir jalan, Mereka datang karena cinta, bukan paksaan.
Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah
bangsa memperlakukan orang yang kalah. Walau pun orang yang kalah, adalah orang
yang memerdekakan bangsanya, Orang yang menjadi alasan terbesar, kenapa
Indonesia harus berdiri. Tapi diperlakukan layaknya binatang, Semoga. kita
tidak mengulangi kesalahan seperti itu. .......
21 Juni - Tanggal meninggalnya Bung Karno.